Tourjepang.co.id – Musim ini banyak banget pameran seni seru yang sayang buat dilewatkan. Karena jumlahnya lumayan banyak, mungkin nggak semuanya bisa kamu datangi sebelum selesai. Tapi tenang, ini dia beberapa pameran yang paling menarik perhatian di museum dan galeri populer di Tokyo, pas banget buat mulai eksplor.
Kalau mau sekalian puas seharian jalan-jalan, bisa juga lihat karya street art dan instalasi seni luar ruang yang ada di Tokyo. Buat yang suka tempat foto-foto dengan vibes keren, teamLab Borderless dan versi terbaru dari teamLab Planets juga wajib masuk daftar.
Perlu diingat, beberapa museum dan galeri minta pengunjung buat reservasi dulu supaya nggak terlalu penuh, jadi pastikan cek jadwal dan info reservasinya sebelum berangkat ya.
18 Pameran Seni Terbaik di Tokyo Saat Ini
Table of Contents
1. Tomokazu Matsuyama – First Last
Seniman kontemporer Jepang-Amerika, Tomokazu Matsuyama, dikenal lewat karya-karyanya yang meliputi lukisan, patung, sampai instalasi. Lahir tahun 1976 di Gifu dan kini tinggal serta berkarya di Brooklyn, Matsuyama punya gaya yang unik karena berhasil memadukan berbagai unsur budaya dan zaman—dari Asia dan Eropa, masa kuno dan modern, sampai gaya figuratif dan abstrak. Karyanya nggak cuma mencerminkan pengalaman hidup lintas budayanya, tapi juga menyentil isu-isu kompleks yang lagi relevan sekarang, kayak ketimpangan ekonomi, konflik sosial, bias gender, sampai banjirnya informasi palsu dan manipulasi media.
Inspirasi seninya datang dari banyak arah—mulai dari seni Jepang era Edo dan Meiji, patung-patung Yunani dan Romawi klasik, lukisan Renaisans Prancis, sampai seni kontemporer pasca-perang. Selama 25 tahun terakhir, Matsuyama udah jadi salah satu nama besar dalam dunia seni di New York.
Pameran di Azabudai Hills Gallery ini jadi pameran solo besar pertamanya di Tokyo. Judulnya First Last dan berlangsung dari 8 Maret sampai 11 Mei. Sekitar 40 karya dipamerkan, dan 15 di antaranya belum pernah ditampilkan di Jepang sebelumnya. Di sini, Matsuyama mengeksplorasi berbagai paradoks di masyarakat modern yang kelihatan stabil, padahal sebenarnya terus bergulat dengan ketegangan. Judul pamerannya sendiri mengangkat kutipan dari Alkitab yang berbunyi “yang terakhir akan menjadi yang pertama, dan yang pertama akan menjadi yang terakhir.”
2. Exploring Yebisu through ‘Bijin-ga’

Foto: Natalie (© LUCKY LAND COMMUNICATIONS/Shueisha)
Yebisu Brewery Tokyo lagi ngadain pameran seni kolaborasi bareng Hirohiko Araki, mangaka legendaris di balik Jojo’s Bizarre Adventure. Araki, yang dikenal banget karena gaya gambar dan pose karakternya yang ikonik, diajak kerja bareng Yebisu Beer buat bikin ilustrasi bijin-ga yang terinspirasi dari iklan-iklan bir klasik era 1900-an.
Bijin-ga sendiri adalah istilah dalam seni Jepang buat lukisan perempuan cantik, dan dulu gaya ini sering banget dipakai buat iklan bir.
Di pameran ini, bakal dipajang dua karya bijin-ga versi Araki setinggi tiga meter, masing-masing berjudul Western dan Peach Patrol. Keduanya digambar dengan warna-warna mencolok khas Araki yang langsung bikin mata nempel.
Jangan lupa cek juga koleksi kaleng Yebisu Beer edisi spesial dengan desain dari Araki, plus merchandise eksklusifnya. Semuanya cuma dirilis dalam jumlah terbatas, jadi sayang banget kalau dilewatkan.
3. Warisan Kuil Zen: Shokoku-ji, Kinkaku-ji, dan Ginkaku-ji di Kyoto
Selama berabad-abad, ajaran Zen dan kuil-kuilnya punya peran penting dalam lahir dan berkembangnya seni di Jepang. Banyak kuil Zen yang mengoleksi karya seni luar biasa, diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Salah satu yang paling menonjol adalah Shokoku-ji di Kyoto, dan koleksi seni dari kuil ini jadi fokus utama dalam pameran ini.
Digelar mulai 29 Maret sampai 25 Mei di University Art Museum, pameran bertajuk Legacy of Zen Temples: Shokoku-ji, Kinkaku-ji and Ginkaku-ji, Kyoto ini ngebahas kekayaan budaya dari Shokoku-ji dan dua kuil afiliasinya yang ikonik, yaitu Kinkaku-ji (Paviliun Emas) dan Ginkaku-ji (Paviliun Perak). Acara ini juga jadi bagian dari peringatan 40 tahun Shokoku-ji Jotenkaku Museum.
Lebih dari 45 karya seni yang dikategorikan sebagai Harta Nasional dan Properti Budaya Penting bakal ditampilkan di sini.
Pameran ini nggak cuma menampilkan karya seni, tapi juga ngasih konteks soal peran tokoh-tokoh penting dalam sejarah Zen, dan gimana koleksi ini bisa jadi bagian dari warisan kuil. Sejarahnya sendiri nggak mulus—ada cerita soal kehilangan, perpindahan, sampai kehancuran akibat perang dan kebakaran. Tapi meski udah lewat banyak cobaan, Shokoku-ji tetap berhasil menjaga inti koleksinya selama lebih dari enam abad.
Baca juga: 10 Festival Tradisional Jepang Paling Spektakuler yang Wajib Kamu Lihat di Tahun 2025
4. Pameran ‘Hinotori’ Karya Osamu Tezuka
Dikenal dengan julukan “God of Manga,” Osamu Tezuka (1928–1989) adalah sosok penting yang mengubah dunia manga dan anime Jepang jadi seperti sekarang. Lahir di Osaka, Tezuka melahirkan karya-karya legendaris seperti Astro Boy, Black Jack, dan Kimba the White Lion. Tapi bagi dirinya sendiri, karya paling penting sepanjang kariernya adalah Hinotori atau Phoenix.
Hinotori adalah saga epik yang dalam banget, ngebahas soal kehidupan, kematian, dan reinkarnasi. Ceritanya mengikuti pencarian manusia akan keabadian lewat burung mitos Phoenix, yang konon darahnya bisa memberi hidup abadi. Alurnya loncat-loncat antara masa lalu yang jauh dan masa depan yang nggak kebayang, penuh refleksi tentang eksistensi dan harapan.
Buat merayakan 70 tahun sejak kisah ini pertama kali diterbitkan, pameran besar Phoenix pertama bakal digelar dari 7 Maret sampai 25 Mei di Tokyo City View, Roppongi Hills. Lebih dari 800 karya bakal dipamerkan, mencakup 12 arc utama dari manganya. Pengunjung juga bisa lihat langsung naskah dan karya asli Tezuka, termasuk bagian ending yang nggak sempat diselesaikan karena beliau wafat lebih awal di tahun 1989.
Dengan gabungan unsur seni, filosofi, dan sains, Pameran Hinotori Karya Osamu Tezuka ngasih pengalaman baru buat memahami salah satu mahakarya terbesar dalam sejarah manga, sambil nerusin semangat visioner Tezuka ke generasi sekarang.
5. Hokusai: Another Story di Tokyo
Musim semi ini, siap-siap masuk ke dunia luar biasa karya Hokusai, seniman ukiyo-e paling legendaris dari Jepang, lewat pameran Hokusai: Another Story yang digelar di Tokyu Plaza, Shibuya. Pameran ini bakal bikin karya-karya klasik Hokusai terasa hidup kembali berkat teknologi super canggih dari Sony—mulai dari visual definisi tinggi, suara spasial, sampai efek sensorik yang bikin semua terasa nyata banget.
Salah satu sorotan utamanya adalah seri Thirty-Six Views of Mount Fuji, yang ditampilkan dalam tampilan ultra-HD lewat layar Crystal LED dari Sony. Setiap detail kecil dari lukisan Hokusai kelihatan jelas dan hidup, serasa kamu beneran lagi berdiri di dalam lukisannya.
Nggak cuma visual, kamu juga bisa ngerasain sensasi fisik lewat lantai interaktif seperti efek suara dan getaran waktu kamu “melangkah” di genangan air atau pasir kering. Dari situ, kamu akan diajak lewat jalur yang diterangi lampu bambu menuju ruangan khusus berisi replika karya-karya ukiyo-e ikonik Hokusai.
Replika ini dibuat pakai teknologi DTIP (3D Texture Image Processing), yang memindai setiap detail serat kertas washi tradisional dengan akurat, jadi bentuk digitalnya tetap terasa asli dan autentik. Pameran ini bukan cuma buat dilihat, tapi juga buat dirasakan langsung lewat semua indera kamu.
Tiket harus dibeli sebelumnya melalui situs resmi mereka.
6. Welcome Back, Yokohama
Setelah direnovasi besar-besaran, Museum Seni Yokohama akhirnya buka lagi sejak Februari 2025. Pameran pembuka ini jadi momen comeback yang keren banget, karena nggak cuma ngebahas seni dan sejarah lokal, tapi juga mengangkat beragam sudut pandang lewat tema keberagaman.
Fokus utamanya adalah kisah orang-orang yang tinggal di Yokohama sebelum kota ini resmi dibuka untuk perdagangan internasional di tahun 1859. Lewat pendekatan ini, banyak karya seni yang udah dikenal bakal dilihat dari sudut pandang baru, sambil memperkenalkan sisi-sisi sejarah kota yang jarang dibahas.
Selain itu, ada juga bagian spesial yang bisa dibilang semacam “kompilasi terbaik” dari koleksi museum—mulai dari karya-karya modern sampai kontemporer. Kamu bisa lihat langsung karya seniman dunia seperti Paul Cézanne, Pablo Picasso, René Magritte, sampai Yoshitomo Nara.
Kalau datang bareng anak-anak, jangan lewatkan zona khusus buat mereka. Lukisan-lukisan di sini digantung lebih rendah supaya gampang dilihat anak-anak. Jadi semua pengunjung, dari segala usia bisa menikmati seni bareng-bareng.
Baca juga: Things To Do: 20 Aktivitas Terbaik yang Bisa Dilakukan di Osaka, Kyoto, Hiroshima, dan Sekitarnya
7. Takano Ryudai: Kasubaba
Dalam rangka ulang tahun ke-30, Tokyo Photographic Art Museum menggelar pameran spesial yang mengikuti perjalanan salah satu fotografer kontemporer Jepang paling menarik lewat Takano Ryudai: Kasubaba, Living through the ordinary. Sejak meraih penghargaan bergengsi Kimura Ihei Award tahun 2006 berkat seri In My Room, Takano dikenal luas karena karya-karyanya yang jujur dan penuh keberanian dalam mengeksplorasi seksualitas, keintiman, dan tubuh manusia.
Tapi ada sisi lain dari Takano yang nggak kalah menarik, yaitu foto-foto kasubaba miliknya—istilah yang ia gunakan untuk menyebut potret keseharian yang kelihatan sepele tapi justru penuh makna. Sejak 1998, ia terus memotret momen-momen biasa di sekitar kota, seperti tekstur dinding tua atau cahaya sore yang jatuh di sudut jalan. Hal-hal kecil yang sering banget kita lewatin gitu aja.
Pameran ini nggak cuma menampilkan kumpulan kasubaba yang penuh perasaan itu, tapi juga karya-karya yang dibuat setelah gempa besar Tohoku 2011, termasuk eksplorasi tentang bayangan dan hakikat fotografi itu sendiri. Lewat semacam jurnal visual yang sunyi tapi dalam, Takano ngajak kita untuk benar-benar memperhatikan keindahan kecil yang sering luput dari pandangan.
Di tengah dunia yang serba nggak pasti, penuh bencana dan perubahan, kasubaba hadir sebagai pengingat bahwa hidup tetap berjalan lewat hal-hal sederhana. Pameran ini jadi bentuk penghormatan atas kepekaan Takano sekaligus undangan buat kita semua untuk melihat dunia lebih pelan dan lebih dalam.
8. Machine Love
Teknologi canggih kayak AI dan dunia virtual yang makin nyatu sama dunia nyata lagi ngebentuk ulang cara kita hidup, dan semua itu terjadi dengan sangat cepat. Tapi kalau ditarik ke belakang, sebenarnya seni dan teknologi selalu tumbuh bareng dari dulu. Sekarang kita sampai di titik di mana keduanya benar-benar nyatu, salah satunya melalui computer art. Pameran ini berani tampil beda dengan menyuguhkan karya seni kontemporer yang dibuat menggunakan teknologi kayak AI, VR, dan game engine, termasuk karya yang sepenuhnya dihasilkan sama AI generatif.
Di antara semua karya yang main di dua dunia, digital dan fisik, ada beberapa yang menonjol. Misalnya video karya Asako Fujikura, seniman asal Jepang, yang bikin kota virtual dari material industri yang seolah-olah hidup dengan teknik 3D rendering. Ada juga Human One dari Beeple, alias Mike Winkelmann, seniman dan desainer asal Amerika. Karya ini berupa patung video kinetik yang menampilkan karakter digital yang terus bergerak melewati lanskap virtual yang selalu berubah, menggambarkan semacam manusia pertama yang lahir di dunia metaverse.
Pameran ini bisa dikunjungi sampai malam jam 10 pada tanggal 29 April dan 6 Mei. Buat yang penasaran sama seni dan teknologi masa depan, ini bisa jadi pengalaman yang menarik.
9. Art of the Ramen Bowl
Buat yang suka keramik atau tertarik dengan dunia donburi, pameran satu ini bisa jadi tempat yang seru buat dikunjungi. Diadakan di 21_21 Design Sight sampai 15 Juni, pameran ini menampilkan puluhan mangkuk ramen, kebanyakan berasal dari wilayah Tono di Prefektur Gifu yang dikenal sebagai penghasil sekitar 90% mangkuk ramen di Jepang.
Pameran ini mengangkat koleksi milik Yasuyuki Kaga, seorang kolektor mangkuk ramen, dan juga menyuguhkan bagian spesial berjudul Artist Ramen Bowls. Di sini ada 40 mangkuk unik hasil rancangan 40 orang kreator dari berbagai bidang, mulai dari seniman, desainer sampai pakar kuliner. Setiap mangkuk dilengkapi penjelasan dua bahasa yang langsung ditulis oleh si pembuat, berisi cerita dan ide di balik desain mereka.
Buat yang peduli isu lingkungan, pameran ini juga memberi info soal proses pembuatan mangkuk dan usaha daur ulang keramik yang tak terpakai. Kalau sedang ingin berkarya, bisa ikut workshop Donburi Pride. Di sana pengunjung bisa menggambar desain mangkuk versi sendiri yang bisa dibawa pulang atau dikirimkan untuk dipajang sementara di lokasi acara.
Pameran dibuka setiap hari kecuali Selasa, dari jam 10 pagi sampai jam 7 malam (masuk terakhir jam 6.30 sore). Tiket masuknya seharga 1.600 yen untuk dewasa, 800 yen untuk mahasiswa, dan 500 yen untuk siswa SMA. Anak SMP ke bawah bisa masuk gratis.
Baca juga: Rekomendasi 8 Destinasi Hidden Gems di Kyoto yang Wajib Dikunjungi
10. Tapio Wirkkala, Si Pemahat dari Ultima Thule

Ultima Thule, 1968, Tapio Wirkkala Rut Bryk Foundation Collection / EMMA – Espoo Museum of Modern Art. © Ari Karttunen / EMMA
Tapio Wirkkala (1915–1985) adalah desainer dan pemahat asal Finlandia yang dikenal luas sebagai salah satu tokoh penting dalam dunia desain pasca-Perang Dunia II. Karya-karyanya banyak terinspirasi dari perjalanannya ke Lapland, bagian utara Finlandia, dan mencakup berbagai bidang seperti desain produk, patung, desain grafis, hingga arsitektur. Keragaman bakatnya juga tercermin dari berbagai jenis material yang ia gunakan, terutama kaca yang membuatnya dikenal secara internasional.
Beberapa karya paling ikoniknya termasuk desain botol vodka Finlandia dan koleksi gelas dapur Ultima Thule dari Iittala. Proses pembuatan gelas Ultima Thule bahkan memerlukan ribuan jam pengembangan teknik meniup kaca agar bisa menghasilkan efek seperti bongkahan es yang meleleh.
Keindahan karya-karya tersebut bisa dinikmati di pameran solo besar pertama Wirkkala di Jepang, yang digelar di Tokyo Station Gallery dari 5 April sampai 15 Juni. Pameran ini diadakan dalam rangka memperingati 110 tahun kelahirannya dan berfokus pada proses kreatif serta lingkungan yang mempengaruhi karyanya. Sekitar 300 karya akan dipamerkan, termasuk patung kayu lapis yang jarang ditampilkan, objek desain, dan prototipe asli.
11. Hilma af Klint: The Beyond

The Swan, The SUW Series, Group IX: Part I, No. 1, 1914–15
By courtesy of The Hilma af Klint Foundation
Hilma af Klint (1862–1944) adalah seniman asal Swedia yang kini dikenal sebagai pelopor seni lukis abstrak. Karyanya bahkan mendahului tokoh-tokoh besar seperti Piet Mondrian dan Wassily Kandinsky. Namun, selama puluhan tahun, hanya sedikit orang yang tahu tentang keberadaannya. Baru di abad ke-21, karya Klint mulai mendapat perhatian luas. Pameran retrospektif di Museum Guggenheim New York pada 2018 bahkan mencetak rekor pengunjung terbanyak sepanjang sejarah museum tersebut. Kini, giliran Museum Seni Modern Nasional Tokyo yang menghadirkan pameran besar pertamanya di Asia.
Pameran ini berfokus pada seri karya berjudul The Paintings for the Temple yang dikerjakan Klint antara tahun 1906 hingga 1915. Ia membuatnya setelah merasa mendapat “tugas” dari dimensi lain dalam sebuah sesi pemanggilan arwah. Karya-karya ini menggabungkan unsur abstrak dan figuratif, bentuk organik dan geometris, yang menurut sang seniman diciptakan bukan sepenuhnya dari dirinya sendiri, melainkan melalui kekuatan spiritual eksternal.
Tiket presale tersedia hingga 3 Maret. Pameran tutup setiap hari Senin, kecuali pada 31 Maret dan 5 Mei. Pada 7 Mei, pameran juga tidak dibuka.
12. Tsutaya Juzaburo Sang Visioner dari Zaman Edo
Di antara tokoh-tokoh penting dari zaman Edo (1603–1867), sedikit yang pengaruhnya sebesar Tsutaya Juzaburo (1750–1797) dalam dunia penerbitan dan seni. Ia adalah seorang pengusaha ulung dengan insting tajam dalam mengenali bakat. Tsutaya merevolusi dunia ukiyo-e dengan mengangkat cetakan kayu dari hiburan sederhana menjadi karya seni yang diakui. Kolaborasinya bersama seniman-seniman terkemuka saat itu menetapkan standar baru dalam keindahan visual dan mutu cetakan. Di sisi lain, terbitan sastranya (khususnya yang berisi satire) begitu digemari masyarakat urban Edo.
Pameran Tsutaya Juzaburo: Creative Visionary of Edo di Museum Nasional Tokyo mengangkat perjalanan sang pelopor lewat deretan cetakan, buku, dan dokumen langka yang menunjukkan betapa besar pengaruhnya dalam membentuk budaya Jepang.
Pengunjung diajak menyelami masa-masa awal Tsutaya saat berkarya di distrik Yoshiwara, melihat gebrakannya dalam teknik cetak berwarna nishiki-e, dan mengenal perannya dalam mengangkat ukiyo-e menjadi bentuk seni yang dihormati.
Baca juga: Things to Do: 12 Destinasi Terbaik di Ueno yang Wajib Dikunjungi
13. Godzilla: The Art
Setelah merayakan ulang tahun ke-70 pada tahun 2024, sang kaiju legendaris kembali unjuk gigi lewat pameran Godzilla: The Art di Mori Arts Center Gallery. Berlangsung dari 26 April sampai 29 Juni, ini adalah edisi kelima dari seri pameran yang mengeksplorasi sisi artistik dan warisan budaya dari monster paling ikonik di dunia.
Sejak pertama kali muncul di layar lebar pada 1954, Godzilla telah menjadi simbol kehancuran, kelahiran kembali, dan hubungan kompleks antara manusia dan alam. Di balik tubuh raksasanya, ada makna yang terus berkembang—mulai dari kritik sosial sampai refleksi atas bencana, baik alam maupun buatan manusia.
Pameran ini dikurasi oleh Takeshi Yoro, seorang ahli anatomi ternama, yang mengajak pengunjung untuk melihat Godzilla dari sudut pandang seni dan budaya. Ada karya dari 15 seniman kontemporer yang menghadirkan interpretasi ulang Godzilla lewat patung, lukisan, dan media interaktif lainnya. Ini bukan sekadar nostalgia, tapi juga perenungan tentang bagaimana satu sosok fiksi bisa punya dampak sebesar ini terhadap imajinasi dunia.
14. Soundwalk Collective & Patti Smith: Correspondences

Soundwalk Collective & Patti Smith ‘Correspondences’ – kurimanzutto NY (installation view), courtesy of kurimanzutto
Soundwalk Collective, yang dipimpin oleh Stephan Crasneanscki dan Simone Merli, adalah platform seni suara yang berbasis di Berlin dan dikenal dengan pendekatannya yang eksperimental dan lintas bidang. Grup ini telah bekerja sama dengan berbagai seniman seperti Jean-Luc Godard, Nan Goldin, dan Charlotte Gainsbourg, menciptakan narasi yang mengangkat tema-tema waktu, ingatan, dan kehilangan.
Musim semi ini, mereka hadir dengan sebuah pameran auditori di Museum Seni Kontemporer Tokyo melalui kolaborasi dengan Patti Smith. Musisi, penyair, dan seniman visual asal Chicago ini telah membentuk sejarah budaya lewat perpaduan sastra, musik, dan aktivisme, serta menginspirasi banyak generasi sejak album ikoniknya, Horses (1975).
Menggabungkan suara, puisi, dan film, Correspondences akan mengisi ruang di MOT dari 26 April hingga 29 Juni. Melalui delapan film, kotak cahaya, dan instalasi suara, pameran ini mengeksplorasi tema-tema seperti kehancuran lingkungan dan ketahanan manusia. Ingatan sonic yang diambil dari lanskap di Chernobyl dan hutan yang terbakar disatukan dengan puisi Smith serta visual arsip yang menampilkan sinema besar seperti Pasolini dan Godard.
Pameran ini pertama kalinya diselenggarakan di Jepang dan menandai peluncuran MOT Plus, sebuah platform seni eksperimental. Tak ketinggalan, akan ada acara bincang seni spesial bersama Smith dan Crasneanscki pada 26 April.
15. Joan Miró
Joan Miró, seniman asal Spanyol yang lahir pada 1893 dan wafat pada 1983, dikenal luas sebagai salah satu tokoh penting dalam seni abad ke-20. Ia dipuji karena kemampuannya mengubah bentuk-bentuk alam seperti bulan dan bintang menjadi simbol-simbol abstrak yang puitis. Dalam pameran besar ini, berbagai fase dalam karier Miró dipamerkan secara menyeluruh untuk pertama kalinya di Jepang. Pameran ini diselenggarakan oleh Fundació Joan Miró dari Barcelona, kota kelahiran sang seniman, dan menghadirkan karya-karya penting dari koleksi di seluruh dunia ke Tokyo.
Karya-karya awal Miró yang dipengaruhi oleh post-impresionisme, seperti potret diri tahun 1919, kemudian berkembang menjadi gaya surealis saat ia aktif dalam dunia seni di Paris pada 1920-an dan 1930-an. Dalam tiga dekade berikutnya, ia mengembangkan gaya khas yang membuatnya terkenal, yang bisa dilihat dalam karya seperti The Morning Star (1940) dari seri Constellations. Pameran ini juga memperlihatkan bagaimana Miró tetap terus bereksperimen dan mencari bentuk ekspresi baru hingga akhir hayatnya.
Pameran ini tutup setiap hari Senin, kecuali pada 28 April dan 5 Mei. Pada 7 Mei, pameran juga tidak dibuka.
Baca juga: Jepang Punya Danau Seindah Ini? 10 Danau yang Wajib Banget Buat Dikunjungi!
16. Kenjiro Okazaki: Time Unfolding Here
Kenjiro Okazaki yang lahir pada 1955 adalah seniman lintas bidang yang karyanya mencakup lukisan, patung, arsitektur, desain lanskap hingga robotika. Praktik seninya sulit untuk dikategorikan karena menggabungkan abstraksi visual dengan kedalaman konseptual. Ia telah diakui secara internasional dan pernah menjadi direktur paviliun Jepang di Pameran Arsitektur Venice Biennale pada 2002 serta berkolaborasi dengan koreografer Trisha Brown dalam pertunjukan I Love My Robot pada 2007.
Pameran Time Unfolding Here di Museum of Contemporary Art merupakan retrospektif skala besar pertama karya Okazaki di Tokyo. Melalui pendekatan lintas bidang yang merentangkan seni, arsitektur dan filsafat, pameran ini ingin menunjukkan bagaimana penciptaan seni bisa menjadi cara untuk memahami dunia. Wajib dikunjungi bagi siapa pun yang tertarik pada pertemuan antara seni dan pemikiran kritis, pameran ini akan menampilkan karya-karya baru serta karya penting dari perjalanan panjang Okazaki yang memperlihatkan evolusi eksplorasinya terhadap bentuk, persepsi dan ruang.
17. Satellites Nicolas Winding Refn and Hideo Kojima
Hideo Kojima dikenal sebagai kreator game Jepang di balik Death Stranding dan seri Metal Gear, yang merevolusi cara bercerita dalam game lewat pendekatan sinematik. Nicolas Winding Refn adalah sutradara asal Denmark yang terkenal lewat Drive dan Only God Forgives, dengan gaya khas penuh kontemplasi dan eksplorasi tema kekerasan serta sisi gelap manusia. Keduanya terhubung lewat rasa hormat dan ketertarikan pada pertemuan antara dunia film dan game, dan telah menjalin persahabatan serta kolaborasi lintas bidang selama lebih dari satu dekade.
Kini mereka kembali bersatu di Tokyo lewat instalasi ambisius yang berlangsung dari 18 April hingga 25 Agustus di Prada Aoyama. Pameran Satellites Nicolas Winding Refn with Hideo Kojima membawa pengunjung ke ruang retro-futuristik dengan enam layar televisi terbuka berbentuk seperti pesawat luar angkasa. Di sana, Refn dan Kojima tampil dalam percakapan tentang identitas, kematian dan kreativitas.
Perjalanan berlanjut ke ruang ganti yang penuh dengan kaset pita, potongan suara hasil terjemahan AI dan musik dari film. Pengunjung diajak menyusun narasi mereka sendiri dari fragmen percakapan yang tersebar. Mengaburkan batas antara analog dan digital, film dan game, Satellites adalah eksplorasi koneksi manusia di era yang makin terhubung lewat teknologi.
18. Pameran Kenji Yanobe di Hyper Museum Hanno
Kucing luar angkasa telah mendarat di Saitama. Hingga 31 Agustus, Hyper Museum Hanno menghadirkan Ship’s Cat Island, pameran terbaru dari seniman kontemporer Kenji Yanobe. Pameran ini menampilkan 80 karya Yanobe, mulai dari patung hingga ilustrasi kucing yang mengenakan perlengkapan antariksa.
Untuk pengalaman yang ramah keluarga, tersedia juga Hyper Kids Program, sebuah lokakarya interaktif yang bisa dinikmati bersama oleh anak-anak dan orang tua.
Informasi pembelian tiket dapat ditemukan melalui berbagai kanal di situs resmi Hyper Museum Hanno (tersedia dalam bahasa Jepang).
Baca juga: Rekomendasi 9 Lokasi teamLab Terbaik di Jepang yang Wajib Dikunjungi!
Ingin tahu informasi menarik lainnya ketika liburan ke Jepang? Jangan lupa follow @tourjepang dan dapatkan info promo, tips & trik, serta destinasi terhits di Jepang!