Tokyo mungkin adalah pusat kehidupan Jepang, tapi bagi kami yang menyukai petualangan di luar jalur utama, pesona Tohoku benar-benar tak tertandingi.
Ketika kami pertama kali menginjakkan kaki di Tokyo yang sibuk, kami membuat sebuah kesepakatan dengan diri sendiri: kami akan menjelajahi setiap prefektur di Jepang. Mungkin itu adalah target yang ambisius, namun perjalanan ini membawa kami ke lanskap yang masih alami dan kekayaan budaya di Aomori, Miyagi, dan Iwate. Namun, wilayah Tohoku masih menyimpan banyak kejutan—Akita, Yamagata, dan Fukushima memanggil, dan kami siap menjawab panggilan tersebut.
Dengan JR East Pass di tangan, kami memiliki kesempatan emas untuk mengeksplorasi permata-permata tersembunyi ini selama lima hari. Waktu terasa cepat berlalu dan tantangannya pun besar. Berapa banyak keajaiban yang bisa kami temukan dalam rencana perjalanan lima hari ini? Berikut adalah kisah perjalanan tak terlupakan kami melalui pemandangan indah, keajaiban kuliner, dan kekayaan budaya di Akita, Yamagata, dan Fukushima.
Oh, dan beberapa kesalahan konyol yang mungkin bisa jadi pelajaran bagi Anda. Atau mungkin tidak, karena penemuan yang spontan itu seru, dan perencanaan yang terlalu hati-hati hanya untuk orang-orang yang kurang berani, kan?
Table of Contents
Hari ke 1 : Menuju Yamagata dari Tokyo
Bagian pertama perjalanan kami dimulai dari Tokyo menuju Stasiun Yamagata dengan menggunakan Yamagata Shinkansen. Dari sana, kami melanjutkan perjalanan dengan kereta lokal menuju Stasiun Yamadera. Yamadera adalah tempat yang sudah lama ada dalam daftar impian kami, menantang kami untuk menaklukkan lebih dari 1.000 anak tangga.
Cuaca tidak sepenuhnya mendukung—awan gelap mengancam di langit—tapi sisi positifnya adalah kabut mistis yang menyelimuti gunung, menciptakan suasana yang penuh keajaiban.
Keajaiban Yamadera
Yamadera (??), yang berarti “Kuil Gunung,” adalah tempat suci yang telah bertahan lama sebagai salah satu lokasi paling menakjubkan di wilayah ini.
Didirikan pada tahun 860 M oleh biksu terkemuka Jikaku Daishi Ennin, kompleks kuil ini merupakan situs penting bagi aliran Buddhisme Tendai. Kuil ini secara resmi dikenal sebagai Risshakuji (???) dan didedikasikan untuk dewa Buddha Yakushi Nyorai, Buddha Obat. Lokasi kuil yang berada tinggi di tebing bukanlah kebetulan. Dikatakan bahwa energi alami gunung ini memperkuat kekuatan meditasi, keyakinan yang telah menarik biksu dan peziarah selama lebih dari seribu tahun.
Pendakian menuju kuil ini merupakan perjalanan spiritual itu sendiri, dengan setiap langkah melambangkan pergerakan dari dunia fana menuju pencerahan.
Dengan sejarah kaya kuil ini dalam pikiran, kami memulai pendakian. Meskipun pendakian ini tidak terlalu berat, mengingat kami baru saja menaklukkan Gunung Fuji, setiap langkah terasa seperti meditasi, sebuah ziarah kecil dalam perjalanan besar kehidupan.
Kabut yang menyelimuti gunung seolah berbisik rahasia kuno, menambahkan lapisan mistis pada pengalaman ini. Setibanya di puncak, pemandangannya sungguh menakjubkan. Struktur kuil, yang sudah tua namun anggun, berdiri selaras dengan gunung yang menampungnya.
Pemandangan ini benar-benar memukau, momen di mana alam dan spiritualitas bersatu dalam pengalaman yang mengesankan. Kami akhirnya berlama-lama lebih dari yang direncanakan, karena panorama di depan kami terlalu memikat. Waktu terasa melambat saat kami menyerap pemandangan sambil berusaha sebaik mungkin menangkap keindahan tempat ini dengan kamera.
Waktu Adalah Segalanya
Bagi Anda yang merencanakan perjalanan serupa, ada satu hal yang perlu diingat: jadwal kereta di daerah pedesaan Jepang tidak sefleksibel di Tokyo.
Ketika kami kehilangan kereta yang seharusnya kami naiki, kami memiliki sedikit waktu ekstra, jadi kami menjelajahi sekitar Stasiun Yamadera. Rencana awal kami adalah mencapai Ginzan Onsen dengan bus tepat waktu untuk menyaksikan matahari terbenam, namun hari-hari yang lebih pendek di musim gugur memiliki rencana lain.
Kami harus menjadwalkan ulang pengalaman tersebut untuk hari berikutnya, sebuah kendala kecil dalam petualangan yang secara keseluruhan berjalan lancar.
Perkotaan Yamagata yang Modern dan Tetap Tradisional
Setelah pengalaman spiritual yang memperkaya di Yamadera, saatnya kembali ke Kota Yamagata.
Kami check-in di hotel kami, dan lokasi hotelnya benar-benar jackpot. Saya memilih Washington Hotel Yamagata Ekinishiguchi hanya karena kemudahan lokasinya yang tepat di samping stasiun. Namun, saya tidak menyadari bahwa hotel ini terletak di menara tertinggi di kota, menawarkan pemandangan udara kota Yamagata yang menakjubkan, mengubah cakrawala menjadi lautan lampu yang berkelip saat malam tiba.
Kota Yamagata relatif tenang, namun area sekitar stasiun penuh aktivitas, seolah kota ini memiliki kepribadian ganda: satu yang menghargai ketenangan dan yang lainnya yang berkembang dalam keramaian. Kami memutuskan untuk menjelajahi keduanya, dimulai dengan berjalan santai di bagian kota yang lebih tenang sebelum terjun ke area stasiun yang sibuk. Catatan untuk diri sendiri: jangan berharap semua taman umum akan terang benderang di malam hari.
Karamiso Ramen, Hidangan Khas Yamagata
Sebagai seseorang yang menganggap ramen bukan hanya sekadar hidangan, tetapi juga gaya hidup, saya memiliki harapan tinggi untuk spesialisasi lokal Yamagata—Karamiso Ramen (???????). Dan, saya bisa bilang, ini tidak mengecewakan. Ramen miso pedas ini adalah setara kuliner dari pelukan hangat di malam musim gugur yang sejuk.
Kaldu yang krimi dan mie yang tebal adalah perpaduan yang sempurna dalam surga gastronomi, memberikan penutup yang ideal untuk hari yang sudah memuaskan.
Hari ke 2: Dari Pegunungan Berkabut ke Kota Onsen
Hari kedua dimulai dengan rasa antisipasi saat kami naik bus di Stasiun Yamagata, menuju Zao Onsen. Tujuannya? Zao Ropeway, pintu gerbang menuju puncak gunung yang menjanjikan pemandangan panorama—atau begitu kami kira.
Setibanya di Zao Onsen, kami naik Zao Ropeway dengan semangat untuk menangkap foto-foto mistis yang menawan, terinspirasi oleh pengalaman atmosferik dari hari sebelumnya. Namun, alam memiliki rencana lain. Alih-alih melayang di atas awan, kami justru terbungkus dalam tirai kabut tebal. Platform observasi, yang biasanya menawarkan pemandangan luas, kali ini hanya memberikan dinding kabut yang tebal. Jadi, alam memutuskan untuk bermain petak umpet, dan kami harus ikut bermain.
Tak terpengaruh oleh kurangnya visibilitas, kami memutuskan untuk menjelajahi gunung lebih jauh. Jalan berkabut itu memiliki daya tarik misteriusnya sendiri, mengubah lanskap menjadi pemandangan yang mirip dengan permainan Silent Hill. Kabut mungkin menutupi pemandangan, tetapi pasti menambahkan lapisan drama pada petualangan kami. Hanya ada satu kendala kecil: kami berharap bisa makan di restoran puncak gunung, namun sayangnya restoran tersebut tutup. Jadi, ingatlah untuk memeriksa hal-hal ini sebelumnya jika Anda berencana mengunjungi selama musim sepi.