Tourjepang.co.id – Pada tahun 2025 ini, Jepang, lebih spesifiknya Tokyo dipenuhi dengan berbagai pameran seni menarik. Bukan hanya pameran dari seniman lokal saja, tetapi juga pameran yang menunjukkan karya dari seniman dari berbagai belahan dunia, sehingga bukan hanya berhasil menarik pengunjung lokal, tetapi juga berbagai wisatawan di seluruh dunia hingga jauh-jauh datang ke Jepang untuk melihat dan menyaksikan pameran ini. Nah, bagi Anda yang tertarik dengan seni, pada artikel ini kami akan memberikan 12 rekomendasi pameran seni terbaik yang dapat Anda kunjungi ketika berliburan ke Jepang di 2025 ini. Tertarik? Berikut penjelasannya!
12 Rekomendasi Pameran Seni Tokyo yang Wajib Anda Kunjungi di Tahun 2025
Table of Contents
1. Pameran “Hokusai: Another Story of Tokyo”
Musim semi ini, Tokyo akan membuat Anda tenggelam dalam dunia seni yang spektakuler di Hokusai: Another Story, pameran luar biasa di Tokyu Plaza, Shibuya. Dengan teknologi pencitraan ultra-HD, audio spasial, dan inovasi sensorik mutakhir dari Sony, pameran ini menghadirkan pengalaman baru dalam menikmati mahakarya Katsushika Hokusai. Sorotan utamanya adalah seri Thirty-Six Views of Mount Fuji, yang dihidupkan kembali melalui layar Crystal LED Sony dengan detail luar biasa.
Tak hanya memanjakan mata, teknologi lantai haptik Sony PCL membuat Anda bisa merasakan sensasi nyata seperti melangkah di pasir atau melompat di atas genangan air. Perjalanannya semakin memukau dengan jalur berhiaskan cahaya bambu yang mengantarkan Anda ke ruangan eksklusif berisi replika ukiyo-e ikonik, dibuat dengan teknologi DTIP yang menangkap setiap serat kertas washi tradisional demi pengalaman autentik. Lebih dari sekadar pameran, Hokusai: Another Story adalah gerbang menuju dunia sang maestro, tempat seni tidak hanya dilihat, tetapi benar-benar bisa dirasakan dalam pengalaman multisensori yang luar biasa.
Baca juga: 9 Hutan Seni Digital Paling Menakjubkan Pada Musim Panas di Kyushu by teamLab
2. Pameran “Kei Imazu: Tanah Air”
Karya Kei Imazu, seniman kelahiran Jepang yang kini berbasis di Indonesia, mengeksplorasi bagaimana inovasi teknologi dapat membentuk persepsi manusia. Dengan namanya yang semakin dikenal di kancah global, Tokyo Opera City Art Gallery mempersembahkan pameran tunggal besar pertamanya yang berjudul Tanah Air. Menggabungkan alat seni tradisional dengan teknologi pencitraan digital, Imazu mengembangkan pendekatan eksperimental yang unik.
Berbagai gambar dari media berbeda ia olah secara digital sebelum dipadukan dengan lukisan minyak di atas kanvas, menciptakan kolase besar yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Unsur sejarah dan mitologi, dimana banyak di antaranya termasuk dari Indonesia, tempat ia tumbuh dan berkarya ini, berhasil berbaur dengan isu kontemporer seperti lingkungan dan ekosistem alam, menghasilkan karya yang tak hanya visual memukau, tetapi juga refleksi mendalam atas zaman ini.
3. Pameran “Hinotori” Osamu Tezuka
Dijuluki sebagai God of Manga, Osamu Tezuka (1928–1989) adalah sosok revolusioner yang membentuk industri manga dan animasi Jepang hingga berhasil populer seperti sekarang. Karya-karyanya yang visioner melahirkan tokoh legendaris seperti Astro Boy, Black Jack, dan Kimba the White Lion. Namun, bagi Tezuka sendiri, Phoenix (Hinotori) adalah mahakaryanya, yang merupakan sebuah franchise epik yang menggali makna kehidupan, kematian, dan reinkarnasi melalui kisah manusia yang mengejar keabadian dengan darah burung mistis.
Untuk merayakan 70 tahun warisan monumental ini, pameran besar pertama Phoenix akan digelar di Tokyo City View, Roppongi Hills, dari 7 Maret hingga 25 Mei, menampilkan lebih dari 800 karya dari dua belas arc utama manga ini. Selain menghadirkan ilustrasi dan manuskrip asli, pameran ini juga mengajak Anda menelusuri chapter terakhir dari manga tersebut yang belum sempat diselesaikan Tezuka sebelum wafat pada 1989. Dengan menggabungkan seni, filsafat, dan sains, Pameran ‘Hinotori’ Osamu Tezuka siap menghadirkan sudut pandang baru atas mahakarya ini, meneruskan warisan visioner Tezuka kepada generasi berikutnya.
4. Pameran Ryuichi Sakamoto “melihat suara, mendengar waktu”
Ryuichi Sakamoto, yang meninggal pada 2023 di usia 71 tahun, adalah salah satu musisi dan komponis paling berpengaruh yang pernah dimiliki Jepang. Selain karirnya di dunia musik, ia juga aktif menciptakan seni multimedia dan dikenal sebagai penggerak sosial yang vokal terhadap isu perdamaian dan lingkungan. Dalam dua dekade terakhir, Sakamoto banyak mengeksplorasi instalasi suara tiga dimensi, yang kini menjadi fokus utama dalam pameran “seeing sound, hearing time” ini.
Beragam karya imersif berskala besar tersebar di seluruh Museum of Contemporary Art Tokyo (MOT), menciptakan pengalaman yang menggugah. Salah satu karya paling mencolok, Life-Well Tokyo, adalah instalasi kabut yang menghiasi area Sunken Terrace, hasil kolaborasi dengan seniman Shiro Takatani dari Dumb Type dan Fujiko Nakaya. Di dalam museum, beberapa instalasi menampilkan kembali musik dari album async (2017), sebuah eksplorasi eksperimental yang menantang konsep musik konvensional dengan pendekatan asinkron. Dengan memadukan elemen ruang dalam dan luar, pameran ini menjadi penghormatan mendalam bagi Sakamoto, seorang seniman visioner yang warisannya terus menginspirasi generasi baru.
5. Pameran Toyohara Kunichika
Berkarya di tengah arus modernisasi dan gejolak era Meiji, Toyohara Kunichika (1835–1900) adalah seniman ukiyo-e visioner yang menghidupkan kembali seni cetak tradisional melalui warna-warna berani dan komposisi dinamis. Dikenal terutama karena yakusha-e, yang merupakan potret para aktor kabuki, Kunichika menangkap energi panggung teater dengan intensitas yang jarang terlihat sebelumnya. Untuk memperingati 190 tahun kelahirannya, Ota Memorial Museum of Art menghadirkan retrospektif istimewa dengan 210 karya pilihan yang memberikan gambaran menyeluruh tentang evolusi artistiknya.
Selain potret aktor yang menjadi ciri khasnya, pameran Toyohara Kunichika ini juga menampilkan bijin-ga (potret wanita cantik), musha-e (gambar prajurit), pemandangan alam, hingga nikuhitsu-ga, lukisan ukiyo-e yang langka dan dibuat dengan tangan. Dengan mengacu pada penelitian akademis terbaru, pameran ini mengungkap sisi baru dari pengaruh Kunichika yang kerap luput dari perhatian. Meskipun namanya tak sepopuler beberapa seniman sezamannya, Kunichika tetap teguh pada tradisi berusia ratusan tahun sembari menghadirkan pembaruan artistik, menjadikan pameran ini kesempatan langka untuk menelusuri perjalanan seorang seniman yang menjembatani masa lalu dan masa depan ukiyo-e.
6. Pameran Joan Miró
Joan Miró (1893–1983), seniman asal Spanyol yang dianggap sebagai salah satu maestro seni abad ke-20, dikenal karena kemampuannya mengubah elemen alam seperti bulan dan bintang menjadi simbol abstrak yang penuh makna. Untuk pertama kalinya di Jepang, sebuah retrospektif besar menampilkan berbagai fase dalam perjalanan artistiknya, dengan karya-karya dari koleksi dunia yang dibawa ke Tokyo berkat kerja sama dengan Fundació Joan Miró di Barcelona.
Pameran Joan Miró ini menggambarkan evolusi gaya Miró, dari karya awal pasca-impresionisme seperti Self-Portrait (1919), hingga eksplorasi surealisnya saat berkarya di Paris pada 1920–1930-an. Selama tiga dekade berikutnya, ia mengembangkan gaya khasnya yang tercermin dalam karya unggulan seperti The Morning Star (1940) dari seri Constellations. Bahkan hingga akhir hayatnya, Miró terus bereksperimen dengan bentuk dan medium baru, menjadikan pameran ini sebagai kesempatan unik untuk menelusuri perjalanan kreatif seorang seniman yang tak pernah berhenti berinovasi.
Baca juga: 6 Instalasi Seni Luar Biasa di teamLab Borderless yang Baru di Azabudai Hills
7. Pameran Hilma af Klint “The Beyond”
Hilma af Klint (1862–1944), seniman asal Swedia, merupakan pelopor seni abstrak yang karyanya mendahului tokoh-tokoh ternama seperti Piet Mondrian dan Wassily Kandinsky. Namun, selama bertahun-tahun, hanya segelintir orang yang mengenal karyanya. Baru pada abad ke-21, Klint akhirnya mendapatkan pengakuan global yang telah lama tertunda, terutama setelah retrospektif di Museum Guggenheim New York pada 2018 mencetak rekor jumlah pengunjung terbanyak dalam sejarah museum tersebut.
Kini, untuk pertama kalinya di Asia, National Museum of Modern Art, Tokyo menghadirkan pameran menarik atas perjalanan kariernya. Pameran yang berjudul “The Beyond” ini berfokus pada seri The Paintings for the Temple, yang dikerjakan Klint antara 1906 hingga 1915 dalam konteks gerakan spiritualisme yang berkembang pesat saat itu. Klint menganggap proyek ini sebagai karya yang ‘ditugaskan’ dari dimensi lain melalui sebuah séance, di mana ia merasa menjadi perantara kekuatan spiritual eksternal dalam menciptakan lukisan-lukisan yang memadukan unsur abstrak dan figuratif, serta bentuk organik dan geometris.
8. Pameran Tomokazu Matsuyama “First Last”
Tomokazu Matsuyama, seniman kontemporer Jepang-Amerika kelahiran 1976 di Gifu dan berbasis di Brooklyn, dikenal melalui karya-karyanya yang mencakup lukisan, patung, dan instalasi. Dengan gaya yang unik, ia menggabungkan serta mereinterpretasi berbagai unsur budaya Asia dan Eropa, era kuno dan modern, serta gaya figuratif dan abstrak. Karyanya mencerminkan pengalaman lintas budayanya sekaligus mengangkat isu-isu kompleks masa kini, seperti perpecahan politik, ketimpangan ekonomi, konflik sosial, paradoks kesetaraan gender, manipulasi media, dan penyebaran disinformasi. Terinspirasi oleh beragam referensi sejarah dan budaya, mulai dari seni Jepang era Edo dan Meiji hingga patung Yunani-Romawi klasik, lukisan Renaisans Prancis, dan seni pascaperang kontemporer, Matsuyama telah menjelma menjadi sosok penting dalam dunia seni New York selama lebih dari 25 tahun.
Kini, untuk pertama kalinya di Tokyo, Azabudai Hills Gallery menghadirkan pameran besar perdananya, First Last, yang berlangsung dari 8 Maret hingga 11 Mei. Dengan menampilkan sekitar 40 karya, termasuk 15 yang belum pernah dipamerkan di Jepang, pameran ini merefleksikan paradoks masyarakat modern yang mempertahankan keseimbangannya melalui pertarungan tanpa henti, sejalan dengan pepatah Alkitab: “yang terakhir akan menjadi yang pertama, dan yang pertama akan menjadi yang terakhir.”
9. Pameran Machine Love
Teknologi modern seperti kecerdasan buatan (AI) serta perpaduan dunia virtual dan nyata kini semakin cepat mengubah cara kita memahami realitas. Jika melihat sejarah manusia secara lebih luas, seni dan teknologi selalu berkembang berdampingan, dengan computer art menjadi contoh terbaru dari sinergi keduanya. Pameran Machine Love ini menampilkan berbagai karya seni kontemporer yang memanfaatkan AI, VR, dan game engine, termasuk karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI generatif.
Beragam instalasi ini mengeksplorasi estetika radikal serta pendekatan revolusioner dalam penciptaan visual. Di antara karya-karya yang mengaburkan batas antara dunia digital dan fisik, sorotan utama termasuk video magis dari Asako Fujikura, yang menggunakan teknologi 3D graphic rendering untuk menciptakan kota virtual di mana material industri bergerak seolah memiliki nyawa. Sementara itu, Beeple—nama samaran seniman, desainer, dan animator asal AS, Mike Winkelmann—menampilkan Human One (2021), sebuah patung video kinetik yang menggambarkan “manusia pertama” yang lahir dalam metaverse, menjelajahi lanskap digital yang terus berubah.
10. Pameran Le Corbusier “Synthesis of the Arts 1930-1965”
Pada paruh akhir hidupnya, Le Corbusier (1887–1965) mencetuskan konsep Synthesis of the Arts untuk mewujudkan ambisinya menyatukan lukisan dan patung dalam lingkup arsitektur. Lebih dari sekadar gagasan, konsep ini menjadi landasan utama visi artistiknya yang berpijak pada prinsip kesatuan, harmoni, dan hukum universal. Meskipun dikenal luas sebagai arsitek visioner, Le Corbusier juga merupakan inovator dalam berbagai bidang seni visual. Pameran Le Corbusier: Synthesis of the Arts 1930–1965 menyoroti lukisan, patung, gambar, dan permadani yang ia hasilkan sejak 1930-an, serta eksplorasi artistiknya terhadap teknologi yang berkembang pada masanya.
Dengan menghubungkan karya-karyanya dengan proyek arsitekturalnya, pameran ini mengungkap bagaimana visi seni Le Corbusier di masa-masa akhirnya melampaui batasan disiplin konvensional. Karakter optimis dan ekspresif dalam karyanya menghadirkan sudut pandang baru terhadap seniman yang sering dikaitkan dengan konsep rumah sebagai “mesin untuk dihuni.” Lebih jauh, dengan menempatkan karyanya di samping karya rekan-rekannya seperti Fernand Léger, Jean Arp, dan Wassily Kandinsky, pameran ini memperkaya pemahaman akan pengaruh budaya dan intelektual yang membentuk estetika Le Corbusier.
11. Pameran Yasuko Aoike “60 Years of Dazzling Manga Artistry”
Aoike Yasuko, seniman asal Shimonoseki, dikenal karena kemampuannya menggabungkan seni Barat dan sejarah dunia dalam manga. Pameran ini menampilkan lebih dari 300 karya yang merangkum perjalanan kariernya sejak debutnya di Ribon (1963). Setelah pindah ke Tokyo dan menjadi freelancer pada 1973, ia menciptakan berbagai serial terkenal seperti The Sons of Eve (1976), El halcón – Eagle, dan From Eroica with Love, yang mengisahkan petualangan seorang bangsawan Inggris sekaligus pencuri seni. Pada 1980-an, ia mulai menggambar potret tokoh sejarah, termasuk Don Pedro dalam Alcazar – The Royal Castle, yang memakan waktu 24 tahun dan memenangkan Japan Cartoonists Society Award. Sejak 1990-an, karyanya seperti Brother Falco dan Cologne Police Odoacer terus menarik perhatian, dengan yang terakhir masih berlanjut hingga kini. Pameran Yasuko Aoike: 60 Years of Dazzling Manga Artistry ini menjadi penghormatan atas kontribusi Aoike dalam dunia manga, berkat dukungan Akita Shoten, kolektor, dan berbagai pihak terkait.
12. Pameran Beardsley “a Singular Prodigy”
Aubrey Beardsley (1872–1898) adalah seniman Inggris berbakat yang dikenal dengan ilustrasi garisnya yang tajam serta gaya hitam-putih yang kontras dan dramatis. Meskipun hidupnya hanya berlangsung selama 25 tahun, ia meninggalkan jejak mendalam dalam dunia seni dengan karya-karya yang berani dan inovatif. Untuk merayakan warisannya, Mitsubishi Ichigokan Museum di Tokyo akan menggelar pameran a Singular Prodigy dari 15 Februari hingga 11 Mei 2025, menampilkan sekitar 220 karya yang mencakup ilustrasi, sketsa tangan langka, poster berwarna, serta dekorasi kontemporer yang menunjukkan evolusi gaya artistiknya.
Pameran ini menghadirkan beberapa karya paling ikonis Beardsley, termasuk Le Morte d’Arthur (1893–94) oleh Malory, Salome (1894) oleh Oscar Wilde, yang juga sangat dikenal di Jepang, serta Mademoiselle de Maupin (1898) oleh Gautier, memperlihatkan bagaimana ia memadukan unsur simbolisme, estetika dekaden, dan Art Nouveau dalam ilustrasinya. Selain menampilkan karya-karyanya dari berbagai periode, pameran ini juga mengungkap bagaimana Beardsley mengeksplorasi tema kontroversial, sensualitas, serta detail ornamen yang rumit, yang menjadikannya salah satu ilustrator paling revolusioner pada masanya.
Baca juga: Japanese Art 7 Pameran Seni Terbaik di Jepang Saat Ini
Sekian 12 rekomendasi pameran seni yang dapat Anda kunjungi ketika berlibur ke Tokyo pada tahun 2025 ini. Bagaimana? Apakah Anda tertarik untuk menyelam ke dalam dunia seni para artist-artist di atas? Silahkan tinggalkan komentar yah!
Jangan lupa untuk mengikuti artikel-artikel menarik lainnya dari kami pada link berikut ini!
Ikuti juga kami di Instagram untuk mendapatkan informasi terbaru tentang paket tur ke Jepang dengan harga terbaik di @tourjepang